Yuki no Hime
Tanggal : March 27, 2019 Jam : March 27, 2019
- Cerpen karya : Nakushita Kotoba
- Genre Cerpen : Trailer
Putri Salju adalah tokoh dongeng yang sangat cantik, menawan, baik hati, dan tidak akan menjadi sosok yang berkebalikan dari itu. Sayangnya Putri Salju yang ini berbeda. Dia adalah sosok pembunuh. Dengan pedangnya, ia telah merenggut sekian banyak nyawa. Tanpa menunjukkan tanda-tanda perasaan iba atau ketidaktegaan. Wajahnya yang cantik hanya menunjukkan kekerasan hati.
Yuki no Hime, tidak ada yang menyebut dirinya dengan nama seperti dongeng. Shirayuki-hime dalam dongeng bukanlah Putri Salju yang akan mengangkat pedang dan membunuh seseorang. Yuki no Hime justru menebar rasa takut.
Aku tahu kenyataan itu. Salju bergulung-gulung menyebabkan badai. Ada sedikit ... tidak, aku akan jujur bahwa aku takut dengan kehadiran Yuki no Hime. Saat ini hanya aku sendirian di rumah, tidak ada siapa pun. Ayah dan Ibu pergi ke luar desa, aku sendiri tidak punya saudara. Yang bisa kuandalkan hanyalah diriku sendiri.
Pintu terasa mencekam. Aku takut. Yang bisa kulakukan hanyalah merapat pada dinding lemari. Walaupun aku sudah memegang busur dan anak panah, menyimpan pisau saku di pakaianku, aku belum berani menggunakannya. Dari celah beberapa mili, aku melihat perlahan-lahan pintu rumah menjadi es dan retak.
"Hawa dingin akan menghancurkan kehangatan. Pecahlah menjadi butiran es."
Aku bisa mendengar suara seorang wanita. Pintu yang telah menjadi es pecah, seperti bunyi dari suara itu. Dari badai salju, seorang wanita yang hanya memakai kimono pendek dan membawa pedang masuk. Yang membuatku semakin menjerit dalam hati adalah bahwa wanita itu telah bercipratkan darah.
Matanya memandang ke seisi rumah. Aku hanya bisa merapat, tidak berani lagi melihat. Dari lubuk hatiku yang paling dalam aku berdoa agar Yuki no Hime tidak menemukanku yang bersembunyi.
Aku mengingat Ayah dan Ibu dalam ketakutan.
"An, jadilah anak yang pemberani. Jangan takut dengan apa pun, ingatlah bahwa Tuhan selalu bersama orang-orang yang rajin beribadah pada-Nya"
Kata-kata Ayah merasuk dalam hatiku. Tuhan ... bantulah hati ini agar aku bisa kuat menghadapi cobaan-Mu. Aku telah belajar untuk mengenalmu, juga telah belajar menggunakan senjata yang aku simpan saat ini. Berikan aku keberanian untuk melawan, setidaknya aku mati dalam pembelaan.
"An, jadilah gadis yang baik. Tidak apa-apa jika tidak menjadi nomor satu untuk beberapa hal. Dengan bisa hidup dan menjalani dengan hati yang bersih, itu sudah cukup."
Apa aku telah menjadi anak yang baik? Apa aku telah cukup menaati apa kata-kata orangtuaku sendiri? Aku tidak tahu. Rasanya segala apa yang kulakukan belum cukup untuk mencapai surga jika nanti aku mati.
Tidak ada rasa takut lagi di hatiku akan Putri Salju, aku justru cemas dengan alam kematian. Kebaikan apa yang telah kuperbuat? Aku hanya berbuat onar, jahil pada teman-teman, hanya suka bermain, dan aku rasa aku memang jarang untuk berbuat kebaikan.
Tanpa aku sadari, pintu lemari telah dibuka.
"Shirayuki ...."
Wanita itu tidak bisa dibilang cantik saja, tapi begitu anggun. Kulitnya lebih benar-benar seputih salju. Rambutnya tidak sehitam gagak, tapi berwarna biru dan berantakan. Bola matanya seolah memperlihatkan tetesan darah, dia menatapku dengan tajam. Bibirnya juga tidak seperti buah apel, justru pucat.
Entah kenapa dia terlihat anggun. Cipratan darah yang membekas di tubuhnya justru menambah kesannya. Seketika itu aku menyebutnya seperti dongeng, walaupun dia sama sekali tidak mirip.
"Kau ...." suaranya yang lembut itu mulai berbicara padaku. "Kau hanya sendirian di sini?"
Aku mengangguk dalam diam. Tidak bisa berkata apa-apa begitu melihat Yuki no Hime. Dia tidak membunuhku ataupun seperti kisahnya. Wanita itu menjauh dariku, menatap lagi seisi rumah. Walaupun aku memegang busur dan dia diam saja, aku tidak bisa menggunakannya.
Mungkin karena dia sendiri tidak menyerangku.
Pandangannya kembali ke arahku. Membuatku berhenti bergerak lagi. "Namamu?"
"An-Anri ...."
Untuk hal-hal yang tidak kumengerti, aku menjawabnya. Wanita itu memberikan sebuah pengaruh hipnosis. Tenggorokanku tercekat, sebersit perasaan takut terselip dalam hatiku. Sebuah bayangan bahwa aku akan mati di tangannya mulai muncul. Padahal Yuki no Hime sama sekali tidak menggunakan pedangnya padaku.
Keinginan untuk memakai anak panah mulai mempengaruhi pemikiranku. Aku memposisikan anak panah itu di busur. Menyampingkan posisi tubuhku dan membuat jarak di kakiku. Secepat mungkin saat ia lengah aku langsung menarik anak panah dan mengarahkannya padanya.
======
Anak panah itu memang meluncur, tapi gerak parabolanya justru mengenai lantai tanah. Yuki no Hime hilang dari pandangan.
"Kau ... berpikir untuk membunuhku?"
Lagi-lagi leherku tercekik oleh perasaanku. Wanita itu, entah bagaimana sudah berada di belakangku. Leherku yang menoleh sedikit akibat refleks membuat mata kami berdua bertemu. Matanya, seolah memperlihatkan darah yang menetes.
"Aku hampir membunuh orangtuamu, tapi tidak jadi. Sepasang kekasih yang berada di tengah musim dingin sedang tengah mengkhawatirkan anak mereka yang bernama Anri yang sedang sendirian. Sàat itu aku berpikir, mungkin jika sekalipun aku membunuh mereka, akan kubunuh mereka disaat yang sama. Karena dengan begitu tidak ada rasa penyesalan kematian mereka karena tidak sempat bertemu dengan keluarga mereka."
Tuhan ... Engkau telah memberikan kembali akal sehatku .... Terima kasih karena berkat diri-Mu aku akhirnya tahu melalui Yuki no Hime bahwa orangtuaku memikirkan tentang aku. Di tengah badai seperti ini, mereka justru memikirkan aku yang berada di rumah yang hangat. Padahal mereka ....
Aku tidak bisa menahan air mata lagi. Menangis sejadi-jadinya. Yuki no Hime mungkin memang benar-benar Shirayuki-hime yang baik hati. Seandainya hal itu benar, ada alasan bagi wanita itu untuk membunuh. Alasan mengapa wanita itu sanggup mengotori tangan dan membuah pedangnya berlumur darah.
"Yuki-hime, sebenarnya apa tujuanmu untuk membunuh?" aku kembali berdiri lagi. Melepas busurku dan mencoba untuk menatapnya tanpa rasa takut lagi. Tuhan ... tolong bantu aku. Agar aku tidak tersulut dengan rayuan setan dalam hatiku.
Wanita itu menyibakkan poninya yang berantakan. "Humn, aku ini pembunuh. Aku melakukan apa pun sesuai kehendak dalam hatiku, tidak ada alasan khusus." Dia kemudian mendekatkan wajahnya pada wajahku sehingga kami begitu dekat. Hela napasnya membuatku merinding. "Sebagian mungkin karena pengaruh iblis dalam diriku. Aku begitu tersulut. Namun, saat melihat orangtuamu yang sangat memikirkanmu, hatiku berubah."
Dia menyeramkan. Sangat menyeramkan. Aku bisa melihat sosok yang sangat mengerikan dalam dirinya. Andai saja dia bukanlah pembunuh, mungkin dia tidak akan semenyeramkan ini. Aku tidak tahu alasan lebih jauhnya. Tidak ada keberanian dalam diriku untuk menanyainya lagi. Dia menghela napas lagi, dekat sekali dengan telingaku sehingga aku merinding karenanya.
Berikutnya, aku merasakan rasa perih yang menusuk ginjalku.
Pisau saku yang sebelumnya aku simpan di kantong justru menusuk tubuhku. Tangan yang begitu putih seperti salju memegangnya dan mengendalikan pisau itu. Saat itu aku refleks untuk mendorongnya hingga jatuh, mengabaikan rasa yang begitu menyakitkan pada perut bagian kiri. Aku terlalu cepat diperdayai.
Yuki no Hime memang bukan tandinganku, justru ia kembali menyerangku dan aku dapat merasakan rasa sakit yang luar biasa, kali ini di dada kananku. Darah hangat keluar begitu saja dari tubuhku. Hanya dengan telapak tanganku, sangat tidaklah mungkin untuk menahan perdarahan yang terjadi.
"Saat melihat orangtuamu, aku memang sempat berubah. Tapi, aku telah memantapkan diri untuk segera membunuh orang yang ingin aku bunuh." Sebuah senyum yang menawan ditunjukkannya hingga aku merasa tegang. Hanya Tuhan yang bisa menolongku, tidak ada siapa-siapa lagi.
Tuhan ... aku akan memasrahkan diri untuk takdir apa yang menjemputku, nasib apa yang harus kujalani. Aku akan tetap bertarung, hingga mati. Tuhan, semoga seluruh bentuk pemujaanku padamu Engkau terima. Semoga aku bisa bertemu dengan orangtuaku di surga. Aku tidak akan takut mati.
Aku merebut pisau sakuku yang ia gunakan. Tanganku yang gemetar berusaha menusuknya. Kakiku yang mati rasa berusaha mengejarnya. Tidak banyak hak yang bisa kulihat karena semuanya memburam.Rasa sakit yang benar-benar menyusahkan membuatku tidak bisa lagi berbuat.
Diri-Mu lah Tuhan semesta alam dan tidak ada selain Engkau. Semoga aku dapat tidur dengan nyenyak dalam kuburku dan dapat bertemu lagi dengan mereka di surga.
Aku tidak takut lagi dengan kematianku.
Selesai
Yuk Dukung Penulis Dalam Menghasilkan Karyanya ^_^ Yuki no Hime shuumei.hirorin@gmail.com
Hai, tahu Nakushita Kotoba? Lagunya di ending Naruto, hehe. Tapi sayangnya saya pakai nama Nakushita Kotoba karena itu versi Jepang pemalsuan nama saya yang paling ajib. Lost Words. Panggil aja saya Kou-chan. Yuk kita bercengkrama! Kunjungi IG saya saja, @mahiroshuu
Apa Komentarmu?
You can edit this submission and view all your submissions easily.
No comments:
Post a Comment